Maritim Indonesia
Ekonomi Biru untuk Maritim Indonesia yang Berkelanjutan
Oleh Rakhmindyarto dan Wesly F. Sinulingga, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan*)
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti
beberapa waktu yang lalu mengungkapkan bahwa terdapat potensi
peningkatan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 25 triliun
rupiah per tahun yang belum dimanfaatkan dari sumber daya ikan dan
sumber daya non ikan. Tercatat 70 persen produksi minyak dan gas
nasional berasal dari wilayah pesisir dan lautan, produksi perikanan
tangkap Indonesia berada di peringkat 2 dunia pada tahun 2012, dan luas
terumbu karang Indonesia sebesar 85.000 km2 (Ditjen
Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan). Potensi maritim
Indonesia yang demikian besar ditangkap sebagai salah satu visi misi
unggulan Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Meskipun demikian, di samping
potensi besar ekonomi dan ekologi yang tersimpan sebagai negara
maritim, potensi kerusakan alam yang mungkin ditimbulkan akibat
eksplorasi berlebihan yang dapat mengancam keberlanjutan pembangunan
hendaknya juga mendapat perhatian.
Ekonomi Biru, Harapan Baru
Istilah ekonomi biru pertama kali diperkenalkan pada tahun 2010 oleh Gunter Pauli melalui bukunya yang berjudul The Blue Economy: 10 years – 100 innovations – 100 million jobs.
Ekonomi biru menerapkan logika ekosistem, yaitu ekosistem selalu
bekerja menuju tingkat efisiensi lebih tinggi untuk mengalirkan nutrien
dan energi tanpa limbah untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi semua
kontributor dalam suatu sistem. Selanjutnya, ekonomi biru
menitikberatkan pada inovasi dan kreativitas yang meliputi variasi
produk, efisiensi sistem produksi, dan penataan sistem manajemen sumber
daya.
Ekonomi biru kemudian berkembang dan sering
dikaitkan dengan pengembangan daerah pesisir. Konsep ekonomi biru
sejalan dengan konsep ekonomi hijau yang ramah lingkungan dan difokuskan
pada negara-negara berkembang dengan wilayah perairan (laut), yang
biasa dikenal dengan Small Island Development States (SIDS).
Ekonomi biru dalam hal ini ditujukan untuk mengatasi kelaparan,
mengurangi kemiskinan, menciptakan kehidupan laut yang berkelanjutan,
mengurangi risiko bencana di daerah pesisir, dan mitigasi serta adaptasi
perubahan iklim.
Implementasi ekonomi biru secara global dianggap
krusial mengingat 72 persen dari total permukaan bumi merupakan lautan.
Disamping itu, laut berfungsi sebagai salah satu sumber penyedia makanan
dan pengatur iklim dan suhu bumi sehingga kelestariannya perlu dijaga.
Potensi Perairan Laut Indonesia
Konsep ekonomi biru sangat cocok untuk
negara-negara dengan wilayah perairan yang cukup luas, seperti
Indonesia. Sekitar 75 persen dari total wilayah kedaulatan Indonesia
merupakan wilayah perairan yang terdiri dari laut teritorial, Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan laut 12 mil. Wilayah laut Indonesia yang
sangat luas merupakan potensi yang penting dan perlu dipelihara serta
ditingkatkan kualitasnya.
Berdasarkan Statistik Perikanan dan Akuakultur Tahun 2012 dari Food and Agriculture Organization
(FAO), Indonesia menduduki peringkat kedua dalam produksi perikanan
tangkap dan peringkat keempat dalam produksi perikanan budidaya.
Indonesia juga tercatat sebagai negara kedua terbanyak dalam hal jumlah
kapal yang dimiliki setelah Tiongkok. Dari sisi penyerapan tenaga kerja,
sektor perikanan tercatat menampung 2.748.908 tenaga kerja pada tahun
2012, menduduki peringkat keempat dunia.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa
sektor perikanan, walaupun hanya menyumbang sekitar 2 persen dari total
PDB Indonesia pada tahun 2013 namun memiliki laju pertumbuhan yang lebih
tinggi dari laju pertumbuhan PDB secara keseluruhan, yaitu sebesar 6,86
persen. Laju pertumbuhan sektor perikanan ini lebih tinggi dibandingkan
sektor pertambangan, industri manufaktur, konstruksi, dan jasa. Hal ini
menunjukkan potensi yang dapat dikembangkan di masa yang akan datang.
Kekayaan bawah laut merupakan salah satu modal
Indonesia untuk menarik wisatawan, baik asing maupun lokal. Kementerian
Kelautan dan Perikanan mencatat terdapat 108 kawasan konservasi perairan
dengan luas 15,78 juta ha, yang diharapkan dapat meningkat menjadi 20
juta ha pada tahun 2020. Keindahan bawah laut di beberapa provinsi di
Indonesia juga sudah sangat mendunia dan menjadi spot menyelam yang
wajib dikunjungi para divers, seperti Bunaken (Sulawesi Utara), Raja Ampat (Papua Barat), dan Wakatobi (Sulawesi Tenggara).
Tantangan Ekonomi Biru di Indonesia
Ekonomi biru sangat erat kaitannya dengan
sektor-sektor berbasis perairan dan kelautan, seperti sektor perikanan,
transportasi, dan pariwisata. Keberlangsungan hidup biota laut sebagai
bahan makanan dan mata pencaharian bagi penduduk di sekitar laut menjadi
fokus ekonomi biru guna mengurangi kemiskinan dan kelaparan. Selain
itu, laut dapat dimanfaatkan untuk memproduksi “energi biru” yang
terbarukan, seperti tenaga angin (wind), ombak (wave), panas (thermal), dan biomassa (biomass).
Fakta bahwa Indonesia memiliki berbagai potensi
bahari yang besar dan melimpah sayangnya tidak tercermin dalam kondisi
sosial ekonomi masyarakat pesisir. Banyak nelayan yang hidup di bawah
garis kemiskinan dengan kondisi lingkungan yang mengkhawatirkan.
Terbatasnya kemampuan dan akses menuju pekerjaan yang lebih baik
merupakan beberapa alasan para nelayan tetap bertahan. Ditambah lagi,
bantuan pemerintah berupa kapal Inka Mina, misalnya, banyak mengalami
kendala dalam operasionalisasinya (Kompas 26 November 2014). Hasil
tangkapan para nelayan tradisional juga sangat terbatas mengingat
minimnya peralatan yang digunakan jika dibandingkan dengan perusahaan
penangkap ikan yang memiliki kapal dan peralatan lebih canggih. Kalah
bersaing, beberapa nelayan kemudian memutuskan untuk berhenti mencari
ikan dan menjadi buruh nelayan pada perusahaan ikan yang secara ekonomi
tidak membuat mereka lebih baik.
Dengan keterbatasan pengetahuan dan ditambah lagi
dengan tekanan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari menyebabkan
aspek ekologi menjadi terabaikan. Penggunaan sarana dan prasarana
penangkapan ikan, seperti bom, potas, dan pukat harimau, cenderung
merusak keanekaragaman hayati dan biota laut.
Pendekatan ekonomi biru menitikberatkan pada
investasi kreatif dan inovatif yang pada akhirnya dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian
lingkungan. Jenis usaha dan lapangan kerja baru sebenarnya dapat
diterapkan di sekitar daerah pesisir. Bisnis daur ulang sampah,
misalnya, dapat menjadi alternatif solusi membersihkan lingkungan
sekitar pantai, menciptakan lapangan kerja baru, dan mengurangi sampah (zero waste).
Untuk dapat mendukung implementasi ekonomi biru
yang berorientasi pada kreativitas dan inovasi, pemerintah perlu
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat pesisir sehingga
mampu “bereksperimen” dengan limbah, by-product, dan produk
ikutan hasil laut. Dengan peningkatan inovasi dan sosialisasi iptek
pertanian dan kelautan diharapkan dapat meningkatkan efisiensi
penangkapan dan budidaya hasil laut. Infrastruktur yang mendukung
efisiensi kegiatan maritim, seperti pelabuhan, aspek pengolahan dan
pemasaran hasil perikanan juga perlu mendapat perhatian lebih. Dengan
memelihara kualitas keanekaragaman hayati laut, ekonomi biru diharapkan
dapat mendukung pembangunan berkelanjutan.
Comments
Post a Comment